Senin, 24 Oktober 2011

Makalah Iddah dan Rujuk

A.PENDAHULUAN Iddah adalah suatu istilah didalam pernikahan dimana suami dan istri berpisah, ada masa tunggunya bagi si istri dank arena perceraian suami juga boleh kembali ke istrinya. Iddah adalah masa tunggu bagi istri yang ditinggal mati suaminya atau karena perceraian atau qobla al-dukhul. Sedangkan rujuk menurut bahasa berarti kembali , adapun rujuk menurut istilah adalah kembalinya mantan suami kepada mantan istrinya yang ditalaknya dengan talak raja’I untuk kumpul kembali pada masa iddah tanpa akad nikah baru. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 228 yang artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. B.LATAR BELAKANG MASALAH Secara sepintas kata rujuk dalam pernikahan berarti kembalinya mantan suami kepada mantan istrinya dalam masa iddah sesudah talak raj’I , bagaimna pengertian-pengertian pengertian tentang ruju’ dan iddah dan bagaimana hokum ruju’ itu?. Berbagai permasalahan pun timbul mengenai apa sih sebenarnya arti rujuk dan iddah itu dalam pernikahan ? apakah yang menjadi rukun dan syarat sahnya rujuk?. C.IDDAH Pengertian Iddah Menurut bahasa arab “iddah” adalah mashdar dari kata kerja “adda-ya’uddu yang artinya “menghitung”, jadi kata ”iddah” artinya ialah hitungan, perhitungan,sesuatu yang harus diperhitungkan.1 Iddah ialah (waktu tunggu) adalah seorang istri yang putus perkawinannya dari suami,baik putusnya karena perceraian kematian mapun atas keputusan pengadilan. Massa iddah hanya berlaku bagi istri yang sudah melakukan hubungan suami istri. Lain halnya bila istri belum pernah melakukan hubungan suami istri (qabla dukhul). Yang menjadi dasar adalah Pasal 11 UU Nomor 1 tahun 1974 dan pasal 153 KHI, yakni sebagai berikut: bagi wanita yang putus perkawinanya berlaku jangka waktu tunggu. Tenggang waktu/ jangka waktu tunggu tersebut ayat 1 akan diatur dalam peraturan pemerintahan lebih lanjut.2 Masa iddah dalam pasal 153 KHI mempunyai beberapa macam yang dapat diklarifikasi sebagai berikut pasal KHI bagi seorang istri yang putus pekawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qabla al-dhukul dan oerkawinannya putus bukan karena kematian suami. waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagaiberikut: apabila perkawian putus karena kematian, walaupun qabla al-dhukul, waktu tunggu ditetapkan 130 hari apabila perkawinan putus atas perceraian waktu tunggu yang masih haid ditetapkan 2 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 hari apabila perkawinan putus karena percerian sedang janda tersebut dalam keaaan hamil maka waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil makawaktu tunggu ditetapkan sampai anak itu lahir. tidak ada waktu tunggu bagi yang outus perkawinan karena perceraian sedang antara jandda tersebut dengan bekas suaminya qabla al –dhukhul. bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sedangkan bagi perkawinan peyang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami. waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya 3 kali waktu suci. Dalam keadaan seperti pada ayat 5 bukan karena menyusui, maka iddahnya selama 1 tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali maka iddahnya menjadi 3 kali suci.3 D. Hak-Hak Perempuan Dalam Masa Iddah Perempuan yang taat (tidur nusyuz) dalam masa iddah raj’iyah (yang boleh rujuk semula), berhak menerima dari suami yang menceraikannya, tempat tinggal, pakaian dan segala perbelanjaan yang lain, makanan dan sebagainya. Kecuali jika ia nusyuz (durhaka) maka tidaklah berhak mendapat segala-segala itu, adalah berdasarkan sabda Rasulullah SAW: artinya : Dari Fatimah binti Qais, telah bersabda, Rasulullah SAW kepdaanya: perempuan yang berhak menerima nafkah, tempat kediaman dari bekas suaminya itu ialah apabila bekas suaminya itu berhak rujuk semula dengannya. (Riwayat Ahmad dan Nasa’i) 2. Perempuan yang sedang dalam iddah ba’in, seperti tebus talak atau ba’in Kubra yaitu talak tiga yang hamil, berhak mendapat tempat kediaman, pakaian dan makanan: artinya : Jika mereka hamil maka hendaklah kamu beri nafkah mereka hingga lahir anak kandungan tersebut. (Surah Ath-Talaq : ayat 6) 3. Perempuan yang di dalam iddah ba’in sighah atau kubri yang tidak hamil, berhak menerima dari bekas suaminya hanya tempat tinggal sebagaimana firman Allah yang artinya : berilah mereka tempat kediaman yang sepadan dengan keadaan dan taraf kamu. Surat Ath-Talaq : ayat 6 Ini adalah satu pendapat dari ulama’ dan pendapat yang lain pula mengatakan bahawa perempuan yang cerai ba’in dan tidak hamil, tidak berhak menerima tempat tinggal dan juga nafkah, berdasarkan hadith Rasulullah: Artinya: Dari Fatimah binti Qais Nabi SAW mengenai perempuan yang dicerai talak tiga, sabda Rasulullah, ia tidak berhak mendapat tempat tinggal dan tidak berhak menerima nafkah. Firman Allah SWT dalam surah al-Talaq ayat 6 : Perempuan yang dalam iddah wafat mereka tidak mempunyai hak sama sekali meskipun dia mengandung, karena dia dan anak dalam kandungannya telah mendapat hak pusaka dari suaminya yang meniggal dunia itu Mengikut pendapat mereka ialah ditujukan untuk perempuan yang sedang di dalam iddah raj’i sahaja. sabda Rasulullah SAW: Artinya: janda hamil; yang kematian suaminya tidak berhak mendapat nafkah (riwayat daruqutni)4 E. Hikmah Iddah Iddah ialah masa menunggu yang diwajibkan atas seorang perempuan yang ceraikan oleh suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya, untuk mengetahui samada perempuan itu hamil atau sebaliknya atau untuk menunaikan satu perintah dari Allah. 1. Untuk mengetahui isteri yang diceraikan itu (cerai hidup atau cerai mati) hamil atau tidak. Dengan ini tidak akan terjadi percampuran nasab atau keturunan, apabila bekas isteri tersebut menikah dengan laki-laki lain. 2. Untuk memanjangkan masa rujuk, jika cerai itu talak raj’i. Dengan adanya masa yang panjang dan lama dapat memberi peluang kepada suami untuk berfikir dan mungkin menimbulkan penyesalan terhadap perbuatannya itu dengan ini akan rujuk kembali. 3. Sebagai penghormatan kepada suami yang meninggal dunia. Bagi seorang isteri yang kematian suami yang dikasihinya sudah tentu akan meninggalkan kesan yang pahit di jiwanya, dengan adanya iddah selama empat bulan sepuluh hari adalah merupakan suatu masa yang sesuai untuk ia bersedih, sebelum memulakan hidup yang baru di samping suami yang lain. F. RUJUK Rujuk menurut bahasa artinya kembali, sedangkan menurut istilah adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raj’i. sebagaimana Firman allah dalam surat al-baqarah :228 “Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki islah (damai)”. (Q.S.Al-Baqarah:228) Ketentuan di atas tidak terdapat dalam UU no 1 Tahun1974 dan PP nomor 9 Tahun 1975, tetapi dijumpai dalam pasal 163,164,165 dan 166 KHI. Pasal 163: seorang suami dapat merujuk istrinya yang dalam masa iddah rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal putusnya perkawinan karena talaq kecuali talaq yang telah dijatuhkan 3kali atau talak yang dijatuhkan qobla al-dukhul putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khulu’ Pasal 164 Seorang wanita dalam iddah talak raj’I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya dihadapan pegawai pencatat nikah dan disaksikan 2 orang saksi Pasal 165 rujuk yang dilakukan tanpa persetujuan bekas istri, dapat dinyatakan tidak sah dengas putusan pengadilan agama. Pasal 166 Rujuk harus dapat dibuktikan dengan kutipan buku pendaftaran rujuk dan bila buku ersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintaakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya sementara. G. Rukun Rujuk : Suami yang merujuk Syarat-syarat suami sah merujuk: Berakal (Baligh) Dengan kemauan sendirid) sighat (ucapan) ► cara merujuk yang dilakukan suami ada dua cara : 1. dengan cara sharih (jelas), seperti ucapan suami kepada istrinya: ,,saya ruju’ kepadamu”. Ucapan ini harus disertai niat. 2. Dengan ucapan kinayah (sindiran). Seperti ucapan: ,,saya ingin memegang kamu”. Ucapan ini harus disertai niat meruju’ 3. Ada istri yang di rujuk Syarat istri yang di rujuk: Telah di campuri istri telah dicampuri oleh mantan suami, sebab jika istri belum pernah dicampuri tidak ada iddah dan berarti tidak ada rujuk istri dalam keadaan talak raj’i jika ia ditalak dengan talak tiga, maka ia tidak dapat dirujuk lagi. istri masih dalam masa iddah 4. Kedua belah pihak (mantan suami dan mantan istri) sama-sama suka, dan yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik. 4) Dengan pernyataan ijab dan qabulSyarat lafadz (ucapan) rujuk:a) Lafaz yang menunjukkan maksud rujuk, misalnya kata suami “aku rujuk engkau” atau “aku kembalikan engkau kepada nikahku”. b) Tidak bertaklik — tidak sah rujuk dengan lafaz yang bertaklik, misalnya kata suami “aku rujuk engkau jika engkau mahu”. Rujuk itu tidak sah walaupun ister mengatakan mahu.c) Tidak terbatas waktu — seperti kata suami “aku rujuk engkau selama sebulan.5 H. Hukum rujuk : wajib, terhadap suami yang mentalak salah seorang istrinya sebelum dia sempurnakan pembagian waktunya terhadap istri yang ditalak Haram, apabila rujuknya itu menyaiti si istri Makruh kalau perceraian itu lebih baik dan berfaedah bagi keduanya (suami istri) jaiz(boleh), ini adalah hukum rujuk yang asli Sunnah, jika maksud suami adalah intuk memperbaiki keadan istrinya, atau rujuk itu lebih berfaedah bagi keduanya (suami istri)6 I. Hikmah Rujuk: Dapat menyambung kembali hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan rumahtangga. Membolehkan seseorang berusaha untuk rujuk meskipun telah berlaku perceraian. Membolehkan seseorang berusaha untuk memperbaiki hubungan rumah tannganya KESIMPULAN Rujuk menurut bahasa artinya kembali sedangkan menurut istilah adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah di talak raj’i. Dalam KHI pasal 63 bahwa Rujuk dapat dilakukan dalam hal: . Putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali atau talak yang di jatuhkan qabla al dukhul. Putus perkawinan berdasarkan putusan pengadilan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk. Jadi pada dasarnya rujuk boleh dilakukan apabila kedua mempelai hendak islah (berbaikan kembali). Dan ruju dapat sah apabila sudah memenuhi rukun dan syarat-syarat tertentu. Adapun yang menjadi hikamah rujuk diantaranya ialah:Dapat menyambung semula hubungan suami isteri untuk kepentingan kerukunan numah tangga. Dan masih banyak lagi. Hukum rujuk itu sendiri seperti yang sudah di jelaskan di atas ada 5 yaitu wajib, Sunnah, Haram, Mubah dan makruh. Iddah ialah masa menunggu yang diwajibkan ke atas seseorang perempuan yang ceraikan oleh suaminya (cerai hidup atau cerai mati), tujuannya, untuk mengetahui samada perempuan itu hamil atau sebaliknya atau untuk menunaikan satu perintah dari Allah. Daftar Pustaka Abidin ,Slamet dan Aminudin.1999. Fiqh munakahat II. Bandung: CV Pustaka Setia Darajat,Zakiah. 1995. Ilmu Fiqh.Yogyakarta: PT dana Bhakti Wakaf. Ali, Zainudin. 2009. Hukum Perdata Islam. Jakarta:Sinar Grafika. .2010.Kompilasi Hukum Islam.Bandung:Citra Umbara. Rasid, Sulaiman.1994. Fiqh Islam.Bandung:Sinar Baru Algensindo. 1 Zakiah darajat, Ilmu Fiqh, cet.1;Yogyakarta, PT dana Bhakti Wakaf, 1995.,hal.211 2 Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam, cet.3; Jakarta, Sinar Grafika,2009.,hal.87 3 Kompilasi Hukum Islam, cet.5;Bandung,Citra Umbara,2010.,hal.282-283 4 Ibid.,hal.416-418 5 Slamet Abidin dan Aminudin, Fikih Munakahat II, cet.1; Bandung, CV Pustaka setia,1999., 6 Sulaiman Rasid, Fiqh Islam, cet.27; Bandung, Sinar Baru Algensindo Bandung,1994.,418

Politik dan Pemerintahan Pada masa Khulafa’ al-Rasyidin

Abu Bakar As-Shiddiq 11-3 H/ 632-634 M Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang berlangsung sangat demokratis di muktamar Tsaqifah Bani Sa’idah, memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern saat ini. Kaum Anshar menekankan pada persyaratan jasa (merit), mereka mengajukan calon Sa’ad Ibn Ubadah. Kaum muhajirin menekankan pada persyaratan kesetiaan, mereka mengajukan Abu Ubaidah Ibn Jarrah.2 Sementara itu Ahlul bait menginginkan agar Ali Ibn Abi Thalib menjadi khalifah atas dasar kedudukannya dalam islam, juga sebagai menantu dan karib Nabi. Hampir saja perpecahan terjadi. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi, akhirnya Abu Bakar disetujui oleh jama’ah kaum muslimin untuk menduduki jabatan khalifah. Sebagai kahlifah pertama, Abu Bakar dihadapkan pada keadaan masyarakat sepeninggal Muhammad SAW. Meski terjadi perbedaan pendapat tentang tindakan yang akan dilakukan dalam menghadapi kesulitan yang memuncak tersebut, kelihatan kebesaran jiwa dan ketabahan batinnya. Seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangi semua golongan yang menyimpang dari kebenaran (orang-orang yang murtad, tidak mau membayar zakat dan mengaku diri sebagai nabi). Kekuasaan yang dijalankan pada massa khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasululllah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif terpusat ditangan Khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hukum,. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah. Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengririm kekuatan ke luar Arabia. Khalid Ibn Walid dikirim ke Irak dan dapat menguasai Al-Hiyah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi dibawah pimpinan empat jendral yaitu Abu Ubaidah, Amr Ibn ‘Ash, Yazid Ibn Abi Sufyan, dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Umar Ibn Al-Khaththab 13-23 H/634-644 M Umar Ibn Al-Khaththab diangkat dan dipilih oleh para pemuka masyarakat dan disetujui oleh jama’ah kaum muslimin. Pada saat menderita sakit menjelang ajal tiba, Abu Bakar melihat situasi negara masih labil dan pasukan yang sedang bertempur di medan perang tidak boleh terpecah belah akibat perbedaan keinginan tentang siapa yang akan menjadi calon penggantinya, ia memilih Umar Ibn Al-Khaththab. Pilihannya ini sudah dimintakan pendapat dan persetujuan para pemuka masyarakat pada saat mereka menengok dirinya sewaktu sakit. Pada masa kepemimpinan Umar Ibn Al-Khaththab, wilayah islam sudah meliputi jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir. Karena perluasan daerah terjadi dengan begitu cepat, Umar Ibn Al-Khaththab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi pemerintahan, dengan diatur menjadi delapan wialayah propinsi : Mekah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga Yudikatif dengan Eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, Jawatan kepolisian dibentuk. Demikian juga jawatan pekerjaan umum, Umar Ibn Al-Khaththab juga mendirikan Bait al-Mall. Dalam menyelesaikan permasalahan yang berkembang dimayarakat Umar selalu berkomunikasi dengan orang-orang yang memang dianggap mampu dibidangnya.3 Ustman Ibn Affan 23-35 H/644-656 M Ustman Ibn Affan dipilih dan diangkat dari enam orang calon yang diangkat oleh khalifah Umar saat menjelang wafatnya karena pembunuhan. Keenam orang tersebut adalah: Ali bin Abu Thalib, Utsman bin Affan, Saad bin Abu Waqqash, Abd al-Rahman bin Auf, Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidillah, serta Abdullah bin Umar, putranya, tetapi “tanpa hak suara”.4 Umar menempuh cara sendiri yang berbeda dengan cara Abu Abakar. Ia menunjukkan enam orang calon pengganti yang menurutnya dan pengamatan mayoritas kaum muslimin memang pantas menduduki jabatan Khalifah. Oleh sejarawan islam mereka disebut Ahl al-Hall a al’aqd pertama dalam islam., merekalah yang bermusyawarah untuk menentukan siapa yang menjadi khalifah. Dalam pemilihan lewat perwakilan tersebut Ustman Ibn Affan mendapatkan suaran lebih banyak, yaitu 3 suara untuk Ali dan 4 suara untuk Ustman Ibn Affan. Pemerintah khalifah Ustman Ibn Affan mengalami masa kemakmuran dan berhasil dalam beberapa tahun pertama pemerintahannya. Ia melanjutkan kebijakan-kebijakan Khalifah Umar. Pada separuh terakhir masa pemerintahannya, muncul kekecewaaan dan ketidakpuasaan dikalangan masyarakat karena ia mulai mengambil kebijakan yang berbeda dari sebelumnya. Ustman Ibn Affan mengangkat keluarganya (Bani Ummayyah) pada kedudukan yang tinggi. Ia mengadakan penyempurnaan pembagian kekuasaan pemerintahan, Ustman Ibn Affan menekankan sistem kekuasaan pusat yang mengusaai seluruh pendapatan propinsi dan menetapkan seorang juru hitung dari keluarganya sendiri. Ali Ibn Abi Thalib 35-40 H/656-661 M Ali Ibn Abi Thalib tampil memegang pucuk kepemimpinan negara di tengah-tengah kericuhan dan huru-hara perpecahan akibat terbunuhnya Usman oleh kaum pemberontak. Ali Ibn Abi Thalib dipilih dan diangkat oleh jamaah kaum muslimin di madinah dalam suasana sangat kacau, dengan pertimbangan jika khalifah tidak segera dipilih dan di angkat, maka ditakutkan keadaan semakin kacau. Ali Ibn Abi Thalib di angkat dengan dibaiat oleh masyarakat. Dalam masa pemerintahannya, Ali Ibn Abi Thalib mengahadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan mereka, Ali Ibn Abi Thalib tidak mau menghukum para pembunuh Usman dan mereka menuntut bela’ terhadap daerah Usman yang telah ditumpahkan secara dhalim. Perang ini dikenal dengan nama perang jamal.5 Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Ibn Abi Thalib juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, Muawiyah. Yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaannya. Pertempuran yang terjadi dikenal dengan perang shiffin, perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelsaikan maslah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali).6 2. Peradaban dan Kebudayaan Pada masa Khulafa’ al-Rasyidin 1. Pada Masa Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq Pada ini kondisi sosial mayarakat menjadi stabil dan dapat mengamankan tanah Arab dari pembangkang dan penyelewengan seperti orang murtad, para nabi palsu dan orang-orang yang enggan membayar zakat. Selain itu keadaan kaum muslimin menjadi tenteram, tidak khawatir lagi beribadah kepada Allah. Perkembangan dagang dan hubungan bersama kaum muslim yang berada di luar Madinah keadaannya terkendali dan terjalin dengan baik. Selain itu juga kemajuan yang dicapai adalah : Pembukuan Al-Qur’an 2. Pada Masa Khalifah Umar Ibn Al-Khaththab Diantara perkembangan yang ada pada masa Khalifah Umar adalah : Pemberlakuan Ijtihad Menghapuskan zakat bagi para muallaf Mengahpuskan hukum mut’ah Lahirnya ilmu Qira’at Penyebaran Ilmu Hadits Menempa mata uang dan menciptakan tahun Hijriah 3. Pada Masa Khalifah Ustman Ibn Affan Diantara perkembangan yang ada pada masa Khalifah Ustman adalah : Penaskahan Al-Qur’an Perluasan Masjid Nabawi dan Masjidil Haram Didirikannya masjid Al-Atiq di utara benteng babylon Membangun Pengadilan Membnetuk Angkatan Laut Membentuk Departemen: i. Dewan kemiliteran ii. Baitul Mal iii. Jawatan Pajak iv. Jawatan Pengadilan 4. Pada Masa Khalifah Ali Ibn Abi Thalib Diantara perkembangan yang ada pada masa Khalifah Ali adalah : Terciptanya ilmu bahsa/nahwu (Aqidah nahwiyah) Berkebangnya ilmu Khatt al-Qur’an Berkembangnya Sastra Petikan dari dakwah.info